Secara garis
besar, pembahasan bagian ini dibagi dua: pertama,
penelitian agama; kedua, model-model
penelitian agama. Penelitian agama diisi dengan penjelasan mengenai kedudukan
penelitian agama dalam konteks penelitian pada umumnya; elaborasi mengenai penelitian
agama (research on religion) dan penelitian keagamaan (religious research); dan kontruksi teori penelitian keagamaan. Adapun bagian akhir berisi tentang
model-model penelitian keagamaan.
A. PENELITIAN DAN PENELITIAN AGAMA
Penelitian
(research) adalah upaya sistematis
dan objektif untuk mempelajari suatu masalah dan menemukan prinsip-prinsip
umum. Selain itu, penelitian juga berarti upaya pengumpulan informasi yang
bertujuan untuk menambah pengetahuan. Pengetahuan manusia tumbuh dan berkembang
berdasarkan kajian-kajian sehingga terdapat penemuan-penemuan, sehingga ia siap
merevisi pengetahuan-pengetahuan masa lalu melalui penemuan-penemuan baru. 1)
Penelitian
dipandang sebagai kegiatan ilmiah karena menggunakan metode keilmuan, yakni
gabungan antara pendekatan rasional dan pendekatan empiris. Pendeketan rasional
memberika kerangka pemikiran yang koheren dan logis. Sedangkan, pendekatan
empiris merupakan kerangka pengujian dalam memastikan kebenaran (Ahmad Syafi’i
Mufid dalam Affandi Muchtar (ed.), 1996:33). Metode ilmiah adalah usaha untuk
mencari jawaban tentang fakta-fakta dengan menggunakan kesangsian sistematis.
Metode ilmiah dalam penelitian di jelaskan oleh Muh. Nazir.
Kriteria
metode ilmiah, sebagaimana dijelaskan Muh. Nazir, adalah sebagai berikut.
1.
Berdasarkan fakta.
2.
Bebas dari prasangka.
3.
Mengguanakan prinsip-prinsip analisis.
4.
Menggunakan hipotesis.
5.
Menggunakan ukuran objektif.
6.
Menggunakan teknik kuantitatif.
Adapun
langkah-langkah yang ditempuh dalam metode ilmiah adalah sebagai berikut:
1.
Memilih dan mendefinisikan masalah.
2.
Survey terhadap data yang tersedia.
3.
Memformulasikan hipotesis.
4.
Membangun kerangka analisis serta alat-alat
dalam menguji hipotesis.
5.
Mengumpulkan data primer.
6.
Mengolah, menganalisis, dan membuat
interpretasi.
7.
Membuat generalisasi atau kesimpulan.
8.
Membuat laporan.
Agama
sebagai objek penelitian sudah lama diperdebatkan. Harun Nasution menunjukkan
pendapat yang menyatakan bahwa agama, karena merupakan wahyu, tidak dapat
menjadi sasaran penelitian ilmu social, dan kalaupun dapat dilakukan, harus
mengguankan metode khusus yang berbeda dengan metode ilmu social. Dalam
menjawab persoalan itu, Harun Nasution membanghun sebuah pertanyaan berikut:
betulkah ajaran agama hanya merupakan wahyu dari Tuhan?
Hal
yang sama juga dijelaskan oleh Ahmad Syafi’I Mufid. Ahmad Syafi’I Mufid (Affandi
Muchtar (ed.), 1996:34) menjelaskan bahwa agama sebagai objek penelitian pernah
menjadi bahan perdebatan, karena agama meruapakan sesuatu yang transenden.
Agamawan cenderung berkeyakinan bahwa agama memiliki kebenaran mutlak sehingga
tidak perlu di teliti.
Sebagaimana
telah di singgung di atas, agama mengandung dua ajaran. Pertama, ajaran dasar yang diwahyukan Tuhan melalui para Rasul-Nya
kepada masyarakat manusia. Ajaran dasar yang demikian terdapat dalam
kitab-kitab suci. Ajaran yang terdapat dalam kitab-kitab suci itu memerlukan
penjelasan tentang arti dan cara pelaksanaanya. Penjelasan-penjelasan para
pemuka atau pakar agama membentuk ajaran agama kelompok kedua. (Harun Nasution
dalam Parsudi Suparlan (ed.), 1982:18)
Ajaran
dasar agama, karena merupakan wahyu dari Tuhan, bersifat absolute, mutlak
benar, kekal, tidak berubah dan tidak bisa dirubah. Sedangkan penjelasan ahli
agama terhadap ajaran dasar agama, karena hanya merupakan penjelasan dan hasil
pemikiran, tidak absolute, tidak mutlak benar, dan tidak kekal. Bentuk ajaran
agama yang kedua ini bersifat relative, nisbi, berubah, dan dapat diubah sesuai
dengan perkembangan zaman. (Harun Nasution dalam Parsudi Suparlan (ed.)
1982:18)
Para
ilmuan beranggapan bahwa agaman juga merupakan kajian atau penelitian, karena
agama merupakan bagian dari kehidupan social cultural. Jadi, penelitian agama
bukanlah meneliti hakikat agama dalam arti wahyu, melainkan meneliti manusia
yang menghayati, meyakini, dan memperolah pengaruh dari agama. Dengan kata lain,
penelitian agama bukan meneliti kebenaran teologi atau filosofi tetapi
bagaimana agama itu ada dalam kebudayaan dan system social berdasarkan fakta
atau realitas sosio-kultural. Jadi, kata Ahmad Syafi’I Mufid, kita tidak
mempertentangkan antara penelitian agama dengan penelitian social terhadap
agama (Ahmad Syafi’I Mufid dalam Affandi Muchtar (ed.), 1996:34). Dengan
demikian, kedudukan penelitian agama adlah sejajar dengan penelitian-penelitian
lain; yang membedakannya adalah objek kajian yang ditelitinya.
Agama
yang diturunkan dan terwujud dalam bentuk pengetahuan dan pikiran manusia
merupakan bagian dari budaya. Oleh karena itu, ia termasuk objek penelitian
filsafat atau kebudayaan. Dalam agama Islam terdapat gagasan para ahli
filsafat, ahli kalam, ahli hukum (fikih), dan para sufi. Itu semua termasuk
wilayah budaya atau filsafat.
Agama
yang diturunkan dan terwujud dalam bentuk tindakan dan sifat manusia merupakan
produk interaksi social. Oleh karena itu, ia merupakan bagian dari ilmu social
dan ilmu sejarah. Hubungan kyai-santri dalam lingkungan lembaga pesantren,
interaksi antara ulama dan umara dalam kehidupan politik, interaksi antara kyai
dan masyarakat sekitarnya merupakan wilayah kajian dari ilmu-ilmu ini.
Agama
yang diturunkan dan terwujud dalam bentuk benda-benda atau keramat, seperti
bangunan mesjid yang bernilai historis tinggi, bangunan candi Borobudur, dan
Beduk Sunan yang dipamerkan dalam Festival Istiqlal, misalnya, merupakan
wilayah kajian antropologi dan arkeologi.
Dengan
demikian, agama dalam pengertian yang kedua, menurut Harun Nasution, dapat
dijadiakan sebagai objek penelitian tanpa harus menggunakan metode khusus yang
berbeda dengan metode yang lain.
B. PENELITIAN AGAMA DAN PENELITIAN KEAGAMAAN
M. Atho Mudzar
(1938:35) menginformasiakan bahwa sampai saat ini, istilah penelitian agama
dengan penelitian keagamaan belum diberi batas yang tegas. Penggunaan istilah
yang pertama (penelitian agama) serinag
juga dimaksudkan mencakup pengertian istilah yang kedua (penelitian keagamaan),
dan begitu sebaliknya. Salah satu contoh yang diungkap M. Atho mudzhar adalah
pernyataan A. Mukti Ali yang, ketika membuka Program Latihan Penelitian Agama
(PLTA) menggunakan kedua istilah tersebut dengan arti yang sama.
Selanjutnya, Atho
Mudzhar mengutip pendapat Midd Leton, guru besar antropologi di New York sity.
Midd Leton berpendapat bahwa penelitian agama (research on religion) berbeda dengan penelitian keagamaan (religus research). Penelitian agama lebih
mengutamakan pada materi agama, sehingga sasaranya terletak pada tiga elemen
pokok, yaitu retus, mitos, dan magic. Sedangkan penelitian keagamaan lebih
mengutamakan pada agama sebagai system atau sistm keagamaan (religious system). (N.Atho Mudzhar,
1998: 35)
M. Atho Mudzhar
(1998:36) mengatakan bahwa perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian
keagamaan perlu disadari karena perbedaan tersebut membedakan jenis metode
penelitian yang diperlukan. Untuk penelitian agama yang sasaranya adalah agama
sebagai doktrin, pintu bagi pengenmbangan suatu metodologi penelitian
tersendiri sudah terbuka, bahkan sudah ada yang pernah merintisnya. Adanya ilmu
ushul al-fiqh sebagai metode untuk istimbath hukum dalam agama Islam dan ilmu mushtalah al-hadist sebagai metode untuk
menilai akurasi sabda Nabi Muhammad Saw merupakan bukti bahwa keinginan untuk
mengembangkan metodologi penelitian tersendiri bagi bidang pengetahuan agama
ini pernah muncul. Persoalan berikutnya adalah, apakah kita hendak menyemurnakannya
atau meniadakannyan sama sekali dan menggantinya dengan yang baru, atau tidsk
menggantinya sama sekali dan membiarkannya tidak ada.
Untuk penelitian
keagamaan yang sasarannya agama sebagai gejala social, kita tidak perlu membuat
metodologi penelitian tersendiri. Ia cukup meminjam metodologi penelitian
social yang telah ada. Memang, kemungkinan lahirnya suatu ilmu jangan dibuat
secara artificial karena semangat yang berlebihan. Mungkin akan lebih
bijaksana, kata M. Atho Mudzhar (1998: 42), apabila metodologi penelitian yang
diharapkan itu tumbuh dari proses seleksi dan kristalisasi dari berbagai
pengalaman dalam menggunakan berbagai metode penelitian social.
Dengan demikian,
apabila mengikuti perbedaan antara penelitian agama dengan penelitian keagamaan
yang dikemukakan oleh Midd Leton, kita akan menggunakan metode yang berbeda
apabila masalah yang kita teliti termasuk wilayah yang pertama atau wilayah
yang kedua. Dalam pandangan Midd Leton, penelitian agama Islam adalah
penelitian yang objeknya adalah substansi agama Islam: kalam, fiqih, akhlak,
dan tasawuf. Sedangkan penelitian keagamaan Islam dalam pandangan Midd Leton
adalah penelitian yang objeknya adalah agama sebagai produk interaksi social.
Tepatnya, baik penelitian agama maupun penelitian keagamaan merupakan kajian
yang menjadikan agama sebagai objek penelitian. Bagi saya, penjelasan Midd
Leton merupakan kelanjutan dari pembedaan agama yang telah ada sebelumnya, yang
dalam tulisan ini gtelah diungkap oleh Harun Nasution dan Ahmad Syafi’I Mufid.
Gagasan Ahmad
Syafi’I Mufid merupakan salah satu alternative yang tidak lepas dari
kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah bahwa Ahmad Syafi’I Mufid cenderung
meniadakan ilmu ushul al-fiqh,filsafat
hukum islam, dan ilmu mushtaklah
al-hadist sebagai ilmu dalam bidang metode. Ilmu ushul al-fiqh dan filsafat hukum islam sebagai metode
mempelajari dan mengembangkan fikih; sedangkan ilmu mushtalah al-hadist berfungsi untukmeneliti akurasi
periwayatan hadist.
Salah satu jalan
keluar dari persoalan tersebut adalah dengn mempelajari gagasan yang ditawarkan
oleh Juhaya S. Praja, guru besar filsafat Islam IAIN Sunan Gunung Djati. Ia
mengajukan gagasan yang sejalan dengan gagasan Midd Leton, yaitu penelitian
agama dan penelitian hidup keagamaan.
Dalam pandangan
Juhaya S. Praja (1997:31-2), penelitian agama adalah penelitian tentang asal
usul agama, dan pemikiran serta pemahaman penganut ajaran agama tersebut
terhadap ajaran yang terkandung didalamnya. Dengan demikian, jelas Juhaya,
terdapat dua bidang penelitian agama, yaitu sebagai berikut.
1.
Penelitian tentang sumber ajaran agama yang
telah melahirkan disiplin imu tafsir dan ilmu hadist.
2.
Pemikiran dam pemahaman terhadap ajaran yang
terkandung dalam sumber ajaran agama itu, yakni usu al-fiqh yang meruakan metodologi ilmu agama. Penelitian dalam
bidang ini telah melahirkan filsafat Islam, ilmu kalam, tasawuf, dan fikih.
Penelitian tentang hidup keagamaan
adalah penelitian tentang praktik-praktik ajaran agama yang dilakukan oleh
manuia secara individual dan kolektif. Berdasarkan batasan tersebut, penelitian
hidup keagamaan meliputi hal-hal berikut.
1. Prilaku individu dan hubungannya dengan
masyarakatnyayang didasarkan atas agama yang dianutnya.
2.
Prilaku masyarakat atau suatu komunutas, baik
prilaku politik, budaya maupun yang lainya yang mendefinisikan dirinya sebagai
penganut suatu agama.
3.
Ajaran agama yang membentuk pranata social,
corak prilaku, dan budaya masyarakat beragama (Juhaya S. Praja, 1997: 32).
Berkenaan dengan metode penelitian yang diperlukan, Ahmad
Syafi’i Mufid menjelaskan sebagai berikut. Apabila penelitian agama berkenaan
dengan pemikiran atau gagasan, maka metode-metode, seperti filsafat, fisiologi
adalah pilihan yang tepat. Apabila penelitian agama berkaitan dengan sikap
prilaku agama, maka metode ilmu-ilmu social, seperti sosiologi, antropologi,dan
psikologi, merupakan metode yang paling tepat digunakan. Sedangkan untuk
penelitian yang berkenaan dengan benda-benda keagamaan, metode arkeologi atau
metode-metode ilmu narural yang relevan, tepat digunakan.(Ahmad Syafi’I Mufid
dalam Affandi Mochtar (ed.), 1996: 35)
Berdasarkan saran tersebut, maka metode penelitian yang kita
gunakan dalam satu kegiatan penelitian tidak mesti membangun metode baru,
tetapi cukup meminjam, melanjutkan, atau mengembangkan metodologi yang sudah
dibangun oleh para ahli sebelumnya. Hal inin telah kita singgung pada
pembahasan di atas.
Menurut Juhaya S. Praja (1997:55-7), karena sosiologi
dijadikan pendekatan dalam memahami agama, maka metode yang digunakan pun
metode sosiologi, seperti observasi, interview, dan angket. Dalam dataran
sosiologis, agama dipahami sebagai perilaku yang konkret. Setelah mengutip
Yinger dan Wallace yang mengemukakan tiga puluh kategori tipe-tipe perilaku
keagamaan, Juhaya S. Praja memodifikasi tipe-tipe tersebut seperlunya, yaitu
sebagai berikut:
1.
Pernyataan tentang super natural, seperti
sembahyang dan pengusiran roh jahat (Exorcism).
2.
Music, tari-tarian, dan lagu.
3.
Latihan psikologis seperti priyadlah.
4. Exhortation (pernyataan kepada orang
lain sebagai wakil Tuhan).
5.
Membaca kitab suci: kira’ah dan tilawah.
6.
Simulasi.
7.
Mana
(menyentuh benda-benda yang mempunyai daya sacral).
8.
Taboo
(menghindarkan diri dari segala sesuatau untuk menjaga terjadinya suatu
kegiatan yang tidak di inginkan atau peristiwa yang tidak di kehendaki).
9.
Mengadakan pesta dengan menghidangkan
makanan-makanan yang sacral.
10.
Pengorbanan seperti berkurban, persembahan, dan
sumbangan dalam bentuk uang.
11.
Jamaah atau jema’at, seperti prosesi,
rapat-rapat, majelis taklim.
12.
Inspirasi seperti wahyu dan ektase mistik (ittihad).
13.
Simbolisme, yakni penggunaan objek-objek
simbolik.
14.
Memperluas dan memodifikasi kode hukum agama
dalam kaitannya dalam kaitannya dengan kategori kelima.
15.
Penerapan nilai-nilai keagamaan dalam konteks
religious.
C.
KONTRUKSI TEORI PENELITIAN KEAGAMAAN
Sebagaimana telah disinggung di atas,
penelitian keagamaan merupakan penelitian yang objek kajiannya adalah agama
sebagai produk interaksi social. Metode yang digunakan adalah metode-metode
penelitian sosisal pada umumnya.
Berkenaan dengan hal itu, kita pun
tidak perlu menyusun teori penelitian sendiri, tetapi cukup meminjam teori
ilmu-ilmu yang sudah ada. Salah satau teori yang digunakan dalam penelitian
keagamaan yangn akan diungkapkan disini adalah penelitian Hj. Ummu Salamah
dalam menyelesaikan program doktornya di Program Pascasarjana Universitas
Padjajaran Bandung (1998).
Judul disertai Hj. Ummun Salamah
adalah “ Tradisi Tarekat dan Dampak Konsistensi Aktualisasinya terhadap
Perilaku Sosial Penganut Tarekat (Studi Kasus Tarekat Tijaniyah di Kabupaten
Garut, Jawa Barat: dalam Perspektif perubahan social)”. Teori-teori yang
digunakan dalam penelitiannya adalah sebagai berikut.
1.
Teori perubahan social.
2.
Teori structural-fungsional.
3.
Teori antropologi dan sosiologi agama.
4.
Teori budaya dan tafsir budaya simbolik.
5.
Teori pertukaran social.
6.
Teori sikap.
Dengan demikian,
penelitia di atas meminjam teori-teori yang dibangun dalam ilmu-ilmu social. Ia
disebut penelitaian keagamaan (religious
research) dalam pandangan Midletton atau penelitian hidup agama dalam pandangan
Juhaya S. Praja, objeknya adalah perilaku Tarekat Tijaniah.
D.
MODEL-MODEL PENELITIAN KEAGAMAAN
Adapun model penelitian yang
ditampilkan disini disesuaikan dengan perbedaan antara penelitian agama dan
penelitian hidup keagamaan. Akan tetapi, sebelumnya saya kutip karya Djamari
mengenai metode sosiologi dalam kajian agama, yang secara tidak langsung memperlihatkan
model-model penelitian agaman melalui pendekatan sosiologis.
Djamari, dosen Pascasarjana IKIP
Bandung, menjelaskan bahwa kajian sosiologi agama menggunakan metode ilmiah.
Pengumpulan data dan metode yang digunakan, antara lain dengan data sejarah,
analisis komparatif lintas budaya, eksperimen ynag terkontrol, observasi, survey
sampel, dan analisis isi.
1.
Analisis Sejarah
Sosiologi tidak memusatkan perhatiannya pada bentuk peradaban
pada tahap permulaan pada waktu tertentu (etnogrsfi),
tetapi menerangkan realitas masa kini, realitas yang berhubungan kitab, yang
mempengaruhi gagasan dan perilaku kita. Supaya kita mengerti persoalan manusia
sekarang, kita harus mempelajari sejarah masa silam. Dalam hal ini, sejarah
hanya sebagai metode analisis atau dasar pemikiran bahwa sejarah dapat
menyajikan gambaran tentang unsur-unsur yang mendukung timbulnya suatu lembaga.
Pendekatan sejarah bertujuan untuk menemukan inti karakter agama dengan
meneliti sumber klasik sebelum dicampuri yang lain. Dalam menggunakan data
historis, sejarawan cenderung menyajikan detail dari situasi sejarah dan
eksplansi tentang sebab akibat ari suatu kejadian. Sedangkan sosiolog lebih
tertarik pada persoalan apakah situasi social tertentu diikuti oleh situasi
social yang lain. Sosiolog mencari pola hubungan antara kejadian social dan
karqakteristik agama. Berikut beberapa pakar ayng telah menggunakan analisis
historis.
(1)
Talcott Parson dan Bellah ketika ia menjelaskan
avolusi agama.
(2)
Berger
dalam uraiannya tentang memudarnya agama dalam masyarakat modern.
(3)
Max Weber ketika ia menjelaskan sumbangan
teologi Protestan terhadap lahirnya kapitalisme.
2.
Analisis LIntas Budaya
Dengan membandingkan pola-pola social keagamaan di beberapa
daerah kebudayaan, sosiolog dapat memperoleh gambaran tentang korelasi unsure
budaya tertentu atau kondisi sosiokultural secara umum. Weber mencoba
membuktikan teorinya tentang relasi antara etika Protestan dengan kebangkitan
kapitalisme melalui kajian agama dan ekonomi di India dan China.
3.
Eksperimen
Penelitian yang menggunakan eksperimen agak sulit dilakukan
dalam penelitian agama. Namun, dalam beberapa hal, eksperimen dapat dilakukan
dalam penelitian agama, misalnya untuk mengevaluasi perbedaan hasil belajar
dari beberapa model pendidikan agama. Darley dan Batson melakukan eksperimen di
sekolah seminari dengan mengukur pengaruh cerita-cerita dalam Injil terhadap
perilaku siswa.
4.
Observasi Partisipatif
Dengan partisipasi dalam kelompok, peneliti dapat
mengobservasi perilaku orang-orang dalam konteks religious. Orang yang
diobservasi boleh mengetahui bahwa dirinya sedang atau secara diam-diam.
Diantara kelebihan penelitian ini adalah memungkinkannya pengamatan simbolik
antar anggota kelompok secara mendalam. Adapun salah satu kelemahannya adalah
terbatasnya data pada kemampuan observer.
5.
Riset Survei dan Analisis Statistik
Penelitian survey dilakukan dengan penyusunan kuesioner,
interview dengan sampel dari suatu populasi. Sampel dapat berupa organisasi
keagamaan atau penduduk suatu kota taua desa. Prosedur penelitian ini dinilai
sangat berguan untuk memperlihatkan korelasi dari karakteristik keagamaan
tertentu dengan sikap social atau
atribut keagamaan tertentu.
6.
Analisis Isi
7.
Dengan metode ini, penelitian mencoba mencari
keterangan dari tema-tema agama, baik berupa tulisan, buku-buku khotbah,
doktrin maupun deklarasi teks, dan yang lainnya. Umpamanya sikap kelompok
keagamaan di analisis dari substansi ajaran kelompok tersebut. (Djamari, 1993:
53-9)