LEASING
A. Pengertian
Leasing (Sewa Guna Usaha)
Surat
Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri
Perindustrian No. Kep-1221MK/2/1974, No. 321MISKI 2/1974 dan No. 30/Kpb/l/74
tanggal 7 Pebruari 1974 tentang “Perijinan Usaha Leasing” menyatakan:
“Leasing
ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan
barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan
hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal
yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai
sisa yang telah disepakati bersama.”
Definisi tersebut
tampaknya hanya menampung satu jenis sewa guna usaha yang lazim disebut finance
lease atau sewa guna usaha pembiayaan. Namun demikian, dengan ditetapkannya
Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/ KMK.013/1 988 tanggal 20 Desember 1988,
jenis kegiatan sewa guna usaha telah diperluas sebagaimana tersirat dalam pasal
1 keputusan tersebut yang menampung definisi-definisi berikut ini:
a. Perusahaan Sewa
Guna Usaha (Leasing Company) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan
pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Finance lease
maupun Operating lease untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha selama jangka
waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
b. Finance lease
adalah kegiatan Sewa Guna Usaha, di mana Penyewa Guna Usaha pada akhir masa
kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek sewa guna usaha berdasarkan
nilai sisa yang disepakati bersama.
c. Operating lease
adalah kegiatan Sewa Guna Usaha di mana Penyewa Guna Usaha tidak mempunyai hak
opsi untuk membeli obyek sewa guna usaha.
d. Penyewa Guna Usaha
(Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan
pembiayaan dari pihak Perusahaan Sewa Guna Usaha (lessor).
Pengertian
sewa guna usaha menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tanggal
21 Nopember 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha:
Sewa
guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik
secara guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna
usaha
tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh lessee selama
jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
Lease
menurut PSAK No.30 bab paragraf 04 adalah suatu perjanjian dimana lessor
memberi hak kepada lessee untuk menggunakan suatu aset selama periode waktu
yang disepakati. Sebagai imbalannya, lessee melakukan pembayaran atau
serangkaian pembayaran kepada lessor .
B.
Kriteria
Pengelompokan Transaksi Sewa Guna Usaha
Kriteria
Pengelompokan Transaksi Sewa Guna Usaha Menurut PSAK No.30 paragraf 08 :
Suatu
sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan (capital lease) jika sewa
tersebut mengalihkan secara subtansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait
dengan kepemilikan aset. Dan suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa operasi (operating
lease) jika tidak mengalihkan secara subtansial seluruh risiko dan manfaat
yang terkait dengan kepemilikan suatu aset.
Transaksi
sewa guna usaha akan dikelompokkan sebagai capital lease bagi perusahaan
sewa guna usaha apabila memenuhi semua kriteria berikut ini:
1. Penyewa
guna usaha memiliki hak opsi untuk membeli aktiva yang disewa guna usahakan
pada akhir masa sewa guna usaha dengan harga yang telah disetujui bersama pada
saat dimulainya perjanjian sewa guna usaha.
2. Seluruh
pembayaran berkala yang dilakukan oleh penyewa guna usaha ditambah dengan nilai
sisa mencakup pengembalian harga perolehan barang modal yang disewa guna
usahakan serta bunganya sebagai keuntungan perusahaan sewa guna usaha (full
payout lease).
3. Masa
sewa guna usaha minimum 2 tahun.
Kalau salah satu kriteria tersebut di atas tidak terpenuhi maka
transaksi sewa guna usaha dikelompokkan sebagai transaksi sewa menyewa biasa
(operating lease).
C.
Perlakuan
Akuntansi Sewa Guna Usaha bagi Perusahaan
Perlakuan Akuntansi Sewa Guna Usaha
Finance Lease
Perlakuan
akuntansi Finance lease oleh
penyewa usaha menurut PSAK No. 30 adalah:
1.
Penanaman neto dalam
aktiva yang disewagunausahakan harus diperlakukan dan dicatat sebagai penanaman
neto sewa guna usaha. Jumlah penanaman neto tersebut terdiri dari Jumlah
piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang akan diterima
oleh perusahaan sewa guna usaha pada akhir masa sewa guna usaha dikurangi
dengan pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui (unearned lease income), dan
simpanan jaminan (security deposit).
2.
Selisih antara piutang
sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) dengan harga perolehan aktiva
yang disewagunausahakan diperlakukan sebagai pendapatan sewa guna usaha yang
belum diakui (unearned lease income).
3. Pendapatan sewa guna
usaha yang belum diakui harus dialokasikan secara konsisten sebagai pendapatan
tahun berjalan berdasarkan suatu tingkat pengembalian berkala (periodic rate of
return) atas penanaman neto perusahaan sewa guna usaha.
4. Apabila perusahaan sewa
guna usaha menjual barang modal kepada penyewa guna usaha sebelum berakhirnya
masa sewa guna usaha, maka perbedaan antara harga jual dengan penanaman neto
dalam sewa guna usaha pada saat penjualan dilakukan harus diakui dan dicatat
sebagai keuntungan atau kerugian periode berjalan.
5.
Pendapatan lain yang
diterima sehubungan dengan transaksi Sewa Guna Usaha harus diakui dan dicatat
sebagai pendapatan periode berjalan.
Perlakuan Akuntansi Sewa Guna Usaha
Capital Lease
Perlakuan
akuntansi capital lease oleh penyewa usaha menurut PSAK
No.
30 adalah :
a. Transaksi
sewa guna usaha diberlakukan dan dicatat sebagai aktiva tetap dan kewajiban
pada awal masa guna sebesar nilai tunai dari seluruh pembayaran sewa guna usaha
ditambah nilai sisa (harga opsi) yang harus dibayar oleh penyewa guna usaha
pada akhir masa sewa guna usaha. Selama masa sewa guna usaha setiap pembayaran
sewa guna dialokasikan dan dicatat sebagai angsuran pokok kewajiban sewa guna
usaha dan beban bunga berdasarkan tingkat bunga yang diperhitungkan terhadap
sisa kewajiban penyewa guna usaha.
b. Tingkat
diskonto yang digunakan untuk menentukan nilai tunai dari pembayaran sewa guna usaha adalah tingkat bunga yang
dibebankan oleh
perusahaan sewa guna usaha atau tingkat bunga yang
berlaku pada awal masa sewa guna usaha.
c. Aktiva
yang disewa guna usahakan harus diamortisasi dalam jumlah yang
wajar berdasarkan taksiran masa manfaatnya.
d. Kalau aktiva yang disewa guna usahakan dibeli
sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha maka perbedaan antara pembayaran
yang dilakukan ataudikreditkan pada tahun
berjalan.
e. Kewajiban
sewa guna usaha harus disajikan sebagai kewajiban lancar dan jangka panjang sesuai dengan praktek yang lazim
untuk jenis usaha
penyewa guna usaha.
f.
Dalam hal dilakukan penjualan dan penyewaan
kembali (sale and leaseback) maka transaksi tersebut harus dilakukan
sebagai dua transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi
sewa guna usaha. Selisih antara harga jual dan nilai buku aktiva yang dijual
harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan
harus dilakukan secara proporsional dengan biaya amortisasi aktiva yang disewa guna
usahakan.
Perlakuan Akuntansi Sewa Guna Usaha
Operating Lease
Perlakuan
akuntansi operating lease menurut PSAK No.30:
1. Barang modal yang
disewagunausahakan harus diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva sewa guna
usaha berdasarkan harga perolehan.
2. Pembayaran sewa guna
usaha (lease payments) selama tahun berjalan yang diperoleh dari penyewa guna
usaha diakui dan dicatat sebagai pendapatan sewa. Pendapatan sewa harus diakui
dan dicatat berdasarkan metode garis lurus sepanjang masa sewa guna usaha,
meskipun pembayaran sewa guna usaha mungkin dilakukan dalam Jumlah yang tidak
sama setiap periode.
3. Penyusutan aktiva yang disewagunausahakan
harus dilakukan dalam jumlah yang layak
berdasarkan taksiran
masa manfaatnya.
4. Kalau aktiva yang
disewagunausahakan dijual maka perbedaan antara nilai nilai buku dan
harga jual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian tahun
berjalan.
D. Pelaporan
dan Pengungkapan Transaksi Sewa Guna Usaha
Pelaporan dan Pengungkapan
Transaksi Finance lease
1. Aktiva dilaporkan berdasarkan urutan likuiditasnya, kewajiban
dilaporkan berdasarkan urutan jatuh temponya tanpa mengelompokkan ke dalam
unsur lancar dan tidak lancar (unclassified balance sheet).
2. Penanaman neto dalam aktiva
yang disewagunausahakan harus dilaporkan dalam neraca dengan rincian sebagai
berikut:
Piutang Sewa Guna Usaha Rp xxxxx
Nilai Sisa Yang Terjamin - xxxxx
Pendapatan Sewa Guna Usaha Yang
Belum Diakui- (xxxxx)
Simpanan
Jaminan - xxxxx)
--------------
Penanaman Netto Sewa Guna Usaha Rp
xxxxx
Penyisihan Piutang Sewa Guna Usaha
yang Diragukan (xxxxx)
--------------
Jumlah Penanaman Neto Rp xxxxx
=======
3. Laporan laba rugi disajikan sedemikian
rupa sehingga seluruh pendapatan dilaporkan dalam kelompok yang terpisah dari
kelompok biaya (single step). Pendapatan sewa guna usaha harus dilaporkan
sebagai komponen utama dalam kelompok Pendapatan.
4. Jumlah penanaman neto dan pendapatan
sewa guna usaha dalam sewa guna usaha sindikasi dan leveraged leases harus
dilaporkan oleh masing-masing pihak secara proposional sesuai dengan
penyertaannya.
5. Pengungkapan yang layak harus
dicantumkan dalam catatan atas laporan keuangan mengenai hal-hal sebagai
berikut:
o Kebijakan
akuntansi penting yang digunakan sehubungan dengan transaksi sewa guna usaha.
o Jumlah
pembayaran sewa guna usaha paling tidak untuk 2 (dua) tahun berikutnya.
o Sifat
dari simpanan jaminan yang merupakan kewajiban perusahaan sewa guna usaha
kepada penyewa guna usaha.
o Piutang
sewa guna usaha yang dijaminkan kepada pihak ketiga.
o Sewa guna usaha sindikasi dan leveraged leases.
Pelaporan dan Pengungkapan
Transaksi Capital Lease
Pelaporan
akuntansi capital lease oleh penyewa guna usaha menurut PSAK No. 30
adalah :
a. Aktiva yang disewa guna usahakan
dilaporkan sebagai bagian aktiva tetap dalam kelompok tersendiri. Kewajiban
sewa guna usaha yang bersangkutan harus disajikan terpisah dari kewajiban
lainnya.
b. Pengungkapan yang layak harus dicantumkan
dalam catatan atas laporan keuangan mengenai hal-hal sebagai berikut :
1.
Jumlah pembayaran sewa guna usahakan yang paling tidak untuk dua tahun berikutnya.
2.
Penyusutan aktiva yang disewa guna usahakan yang dibebankan dalam tahun
berjalan.
3. Jaminan
yang diberikan sehubungan dengan transaksi sewa guna usaha.
4.
Keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan beserta amortisasinya sehubungan dengan transaksi penjualan dan penyewaan
kembali (sale and leaseback).
5.
Ikatan-ikatan penting yang dipersyaratkan dalam perjanjian sewa guna usaha.
Pelaporan dan Pengungkapan
Transaksi Operating Lease
Menurut
PSAK No.30 bahwa pengungkapan yang layak harus dicantumkan atas laporan
keuangan mengenai :
1. Jumlah
pembayaran sewa guna selama tahun berjalan yang dibebankan sebagai biaya sewa.
2. Jumlah
pembayaran sewa guna usaha yang harus dilakukan paling tidak 2 tahun
berikutnya.
3. Jaminan
yang diberikan sehubungan dengan transaksi sewa guna usaha.
4. Keuntungan
atau kerugian yang ditangguhkan beserta amortisasinya sehubungan dengan
transaksi sale and leaseback.
5. Ikatan-ikatan
penting yang dipersyaratkan dalam perjanjian sewa guna usaha (major
covenants).
E. Berikut
ini masalah-masalah perpajakan seputar Leasing (SGU):
A. Perbedaan Leasing (SGU) dengan Penjualan Kredit dan
Angsuran
Perbedaan
Leasing dengan penjualan kredit dan angsuran biasa adalah dalam penjualan
kredit dan angsuran hanya terdapat 2 pihak yaitu penjual (supplier) dan pembeli
(yang mengangsur/mencicil pembayaran kepada supplier). Maka konsuekensi
pajaknya hanyalah antara 2 pihak tersebut. Atas barang modal yang dijual
terutang objek PPN, Sedangkan laba penjualan (harga jual – harga pokok
pembelian) masuk ke PPh badan supplier.
Sedangkan
pada leasing (SGU) terdapat 3 pihak:
- lessor (biasanya bank atau lembaga keuangan lain yang memberi dana pada lessee untuk memperoleh aset/barang modal yang di-leasing-kan)
- lessee (yang menggunakan aset/barang modal yang di-leasing-kan)
- supplier (yang menjual/menyediakan aset/barang modal)
Sehingga
di sini terdapat 2 objek pajak yaitu:
- Jasa pembiayaan, biasanya berupa imbalan bunga, dari lessor ke lessee (objek pajak yang dibebaskan PPN dan PPh 23)
- Barang modal yang dijual dari supplier ke lessse (objek pajak PPN sedangkan laba penjualan masuk ke PPh badan supplier)
Terdapat
dampak perpajakan yang lain yaitu siapakah yang berhak mendepresiasi aset
karena pada umumnya kepemilikan aset (dokumen legalnya) masih dimilki oleh
lessor. Karena perbedaan konsuekensi pajak inilah, maka merangsang
penyelundupan pajak (tax evasion). Misalnya leasing disamarkan menjadi
penjualan kredit agar lessor terhindar dari konsuekensi pemajakan. Atau
penjualan kredit agar penjual bisa membukukan pendapatan hanya sebesar imbalan
bunga saja.
B. Perbedaan Pengakuan Pendapatan dan Beban
antara Standar Akuntansi dan Peraturan Perpajakan
Secara
garis besar, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:
PSAK No. 30 (Revisi 2007) tentang Sewa
|
KMK No. 1169/KMK.01/1991
|
||
Capital Lease (Sewa Guna Usaha
dengan Hak Opsi)
|
Persyaratan
|
|
|
Pendapatan & Biaya Lessor
|
a. Selisih antara piutang sewa
guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) dengan harga perolehan aktiva
yang disewagunausahakan diperlakukan sebagai pendapatan sewa guna usaha yang
belum diakui (unearned lease income).b. Pendapatan sewa guna usaha yang belum
diakui harus dialokasikan secara konsisten sebagai pendapatan tahun berjalan
berdasarkan suatu tingkat pengembalian berkala (periodic rate of return) atas
penanaman neto perusahaan sewa guna usaha.c. Apabila perusahaan sewa guna
usaha menjual barang modal kepada penyewa guna usaha sebelum berakhirnya masa
sewa guna usaha, maka perbedaan antara harga jual dengan penanaman neto dalam
sewa guna usaha pada saat penjualan dilakukan harus diakui dan dicatat
sebagai keuntungan atau kerugian periode berjalan.d. Pendapatan lain yang
diterima sehubungan dengan transaksi Sewa Guna Usaha harus diakui dan dicatat
sebagai pendapatan periode berjalan.
|
|
|
Biaya Lessee
|
|
3. BUKAN
OBJEK PPh 23 dan PPN kareana dianggap sebagai JASA PEMBIAYAAN (UU PPN pasal
4A-d)
|
|
Operating Lease (Sewa Biasa)
|
Persyaratan
|
Kalau salah satu kriteria capital
lease tidak terpenuhi maka transaksi sewa guna usaha dikelompokkan sebagai
transaksi sewa menyewa biasa (operating lease).
|
|
Pendapatan & Biaya Lessor
|
|
|
|
Biaya Lessee
|
Pembayaran sewa guna usaha selama
tahun berjalan merupakan biaya sewa yang diakui dan dicatat berdasarkan
metode garis lurus selama masa sewa guna usaha, meskipun pembayaran sewa guna
usaha dilakukan dalam Jumlah yang tidak sama setiap periode.
|
pembayaran sewa-guna-usaha tanpa
hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah biaya yang dapat
dikurangkan dari penghasilan bruto. MERUPAKAN OBJEK PPH 23 dan PPN atas SEWA.
|
Perbedaan
paling mendasar adalah tidak diperbolehkannya depresiasi baik bagi lessor dan
lessee dalam SGU dengan hak opsi dalam peraturan perpajakn di Indonesia. Namun
sebenarnya peraturan pajak memberi pembebanan yang sama bagi lessee seperti
pada PSAK dimana lessee diperbolehkan mengurangkan jumlah angsuran pembayaran
leasing. Angsuran ini jumlahnya akan sama dengan biaya bunga dan biaya
depresiasi karena jumlah utang leasing adalah nilai aktiva ditambah dengan
bunga leasing.
PERBEDAAN
AKUNTANSI
CAPITAL
LEASE
aset diakui sbg aset leesee, PPN Masukan atas aset dapat dikreditkan, tdk ada PPh 23 yang terutang saat pembayaran.
aset diakui sbg aset leesee, PPN Masukan atas aset dapat dikreditkan, tdk ada PPh 23 yang terutang saat pembayaran.
Pada saat
pembelian:
aset (debet)
PPN MAsukan(debet)
bunga dibayar dimuka (debet)
utang leasing (credit)
aset (debet)
PPN MAsukan(debet)
bunga dibayar dimuka (debet)
utang leasing (credit)
pada saat
pembayaran angsuran:
utang leasing (debet)
kas (credit)
utang leasing (debet)
kas (credit)
jurnal
penyesuaian:
beban bunga (debet)
bunga dibayar dimuka (credit)
beban penyusutan aktiva (debet)
akumulasi penyusutan aktiva (credit)
beban bunga (debet)
bunga dibayar dimuka (credit)
beban penyusutan aktiva (debet)
akumulasi penyusutan aktiva (credit)
OPERATING
LEASE
dianggap
sewa biasa, tdk ada pengakuan aset dan beban depresiasi, terutang PPh 23 dan
PPN dari pembayaran sewa
Pada saat
pembelian:
Tidak ada yang dicatat penyewa, yang menyewakan mencatat sebagai asetnya
Tidak ada yang dicatat penyewa, yang menyewakan mencatat sebagai asetnya
pada saat
pembayaran angsuran:
beban sewa (debet)
PPN Masukan (debet)
Utang PPh 23 (credit)
Kas (credit)
beban sewa (debet)
PPN Masukan (debet)
Utang PPh 23 (credit)
Kas (credit)
jurnal
penyesuaian:
Tidak ada yang dicatat penyewa, yang menyewakan mendepresiasikan asetnya
Tidak ada yang dicatat penyewa, yang menyewakan mendepresiasikan asetnya
C. Potensi
Double Taxation atau Double Dipping dalam Perpajakan
Internasional
Double Taxation (pemajakan berganda) atas leasing dapat terjadi bila negara
lessor dan negara lessee sama-sama tidak boleh mendepresiasi aset leasing
sedangkan double Dipping (pembebanan berganda) atas leasing terjadi bila
baik lessor dan lessee diperbolehkan untuk mendepresiasi aset leasing. Hal ini
dapat dilakukan untuk penghindaran pajak (tax avoidance) berkala
internasional untuk leasing antara induk dan anak perusahaan.
D. Peraturan Perpajakan Mengenai Leasing (SGU) yang Saling
Bersebrangan
Di
Indonesia, perpajakan atas leasing diatur dalam KMK No. 1169/KMK.01/1991
bertentangan dengan UU PPh pasal 11 yang berlaku saat ini (UU PPh No 36 tahun
2008): ”masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk
barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III,
dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan; Hal ini melandasi SE-10/PJ.42/1994
membuat pengelompokan harta untuk depresiasi tidak sesaui UU PPh pasal 11
dimana:
- Golongan I mempunyai manfaat 4 tahun
- Golongan II mempunyai masa manfaat > 4 sd 8 tahun
- Golongan III mempunyai manfaat > 8 tahun
Keputusan
Menteri Keuangan yang menjadi dasar dari Surat Edaran tersebut adalah
”Keputusan Menteri Keuangan tahun 1991, jadi dasar hukumnya adalah UU PPh
sebelum diubah dengan UU Nomor 10 tahun 1994 dimana pasal 11 menyatkan
pengelompokkan aset sebagai berikut:
- Bukan bangunan
- Kelompok 1 mempunyai manfaat 4 tahun
- Kelompok 2 mempunyai manfaat 8 tahun
- Kelompok 3 mempunyai manfaat 16 tahun
- Kelompok 4 mempunyai manfaat 20 tahun
- Bangunan
- Permanen mempunyai manfaat 20 tahun
- Tidak Permanen mempunyai manfaat 10 tahun
E. Sales and lease back
Sepintas
tipe leasing ini seperti pegadaian. Pada transaksi ini, lessee menjual aktiva
pada lessor lalu menyewanya kembali sampai akhir periode leasing. PSAK No. 30
menyatakan: Dalam hal dilakukan penjualan dan penyewaan kembali (sales and
leaseback) maka transaksi tersebut harus diperlakukan sebagai dua transaksi
yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa guna usaha. Selisih
antara harga jual dan nilai buku aktiva yang dijual harus diakui dan dicatat
sebagai keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan. Amortisasi atas keuntungan
atau kerugian yang ditangguhkan harus dilakukan secara proporsional dengan
biaya amortisasi aktiva yang disewagunausaha apabila leaseback merupakan
capital lease atau secara proporsional dengan biaya sewa apabila leaseback
merupakan operating lease.
KMK
No. 1169/KMK.01/1991 tidak mengatur khusus masalah ini sehingga dalam
prakteknya sering terjadi kesalahpahaman. Leasing ini dianggap sama seperti
pegadaian sehingga tidak terdapat PPN terutang saat aktiva leasing dijual
lessee ke lessor sebelum dileasing kembali. Berdasarkan UU PPN No. 42 tahun
2009 Pasal 1A ayat 2, tidak ada pembebasan PPN atas jenis penyerahan ini. Namun
dalam penjelasan UU PPN pasal 1A ayat 1-h, penyerahan Barang Kena Pajak (BKP)
dalam perjanjian leasing, penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena
Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak dalam hal ini dari
supplier ke lessee. Sehingga penyerahan BKP dari lesee ke lessor dalam sales
and leaseback tidak termasuk dalam positive list dan negative
list dalam UU PPN.
F. Muharabah vs Capital Lease (SGU dengan hak opsi)
Murahabah
(transaksi pembiayaan bank syariah) sepintas mirip leasing karena melibatkan 3
pihak yaitu pembeli, bank dan supplier. Yang membedakan adalah jenis
penghasilannya, leasing mengambil laba dari bunga atas uang yang dipinjamkan
lessor pada lessee sedangkan muharabah merupakan akad jual beli biasa dengan
margin profit dengan cicilan pembayaran. Sehingga seakan-akan bank syariah
merupakan agen penjual maka terjadilah pemajakan PPN berganda karena terdapat
PPN dari supplier ke pembeli lalu terdapat lagi PPN dari bank ke pembeli.
Semestinya yang dipajaki margin profitnya saja karena bank syariah tidak bisa
mengkreditkan PPN masukan dari supplier.
Namun
untuk memenuhi asas netralitas, agar tidak ada diskriminasi antara bank syariah
dan bank komersil, baik bunga leasing maupun margin profit muharabah dibebaskan
dari PPN. Pada UU PPN 2009 pasal 1A menyebutkan:
”penyerahan
Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan
yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap
langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena
Pajak”
Dalam
Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa:
”Contoh:
Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk
membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan
nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank
syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian
menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan
bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A
kepada Tuan B.”
Dari
pasal tersebut, dapat dinyatakan, penyerahan yang kena PPN dari supplier ke
pembeli, dari bank ke pembeli tidak ada PPN, sama seperti leasing bank biasa.
Hal ini dipertegas lagi Penjelasan Pasal 4a ayat 3 tentang jenis jasa yg tidak
dikenai PPN jasa pembiayaan, termasuk
pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar