Sabtu, 06 Desember 2014

Teori Akuntansi



LEASING
A.     Pengertian Leasing (Sewa Guna Usaha)
Surat Keputusan Bersama Menteri Keuangan, Menteri Perdagangan dan Menteri Perindustrian No. Kep-1221MK/2/1974, No. 321MISKI 2/1974 dan No. 30/Kpb/l/74 tanggal 7 Pebruari 1974 tentang “Perijinan Usaha Leasing” menyatakan:
“Leasing ialah setiap kegiatan pembiayaan perusahaan dalam bentuk penyediaan barang-barang modal untuk digunakan oleh suatu perusahaan untuk suatu jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran-pembayaran secara berkala disertai dengan hak pilih (optie) bagi perusahaan tersebut untuk membeli barang-barang modal yang bersangkutan atau memperpanjang jangka waktu leasing berdasarkan nilai sisa yang telah disepakati bersama.”
 Definisi tersebut tampaknya hanya menampung satu jenis sewa guna usaha yang lazim disebut finance lease atau sewa guna usaha pembiayaan. Namun demikian, dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Keuangan No. 1251/ KMK.013/1 988 tanggal 20 Desember 1988, jenis kegiatan sewa guna usaha telah diperluas sebagaimana tersirat dalam pasal 1 keputusan tersebut yang menampung definisi-definisi berikut ini:
a. Perusahaan Sewa Guna Usaha (Leasing Company) adalah badan usaha yang melakukan kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara Finance lease maupun Operating lease untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.
b. Finance lease adalah kegiatan Sewa Guna Usaha, di mana Penyewa Guna Usaha pada akhir masa kontrak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek sewa guna usaha berdasarkan nilai sisa yang disepakati bersama.
c. Operating lease adalah kegiatan Sewa Guna Usaha di mana Penyewa Guna Usaha tidak mempunyai hak opsi untuk membeli obyek sewa guna usaha.
d. Penyewa Guna Usaha (Lessee) adalah perusahaan atau perorangan yang menggunakan barang modal dengan pembiayaan dari pihak Perusahaan Sewa Guna Usaha (lessor).

Pengertian sewa guna usaha menurut Keputusan Menteri Keuangan No. 1169/KMK.01/1991 tanggal 21 Nopember 1991 tentang Kegiatan Sewa Guna Usaha:
Sewa guna usaha adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara guna usaha dengan hak opsi (finance lease) maupun sewa guna
usaha tanpa hak opsi (operating lease), untuk digunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala.

Lease menurut PSAK No.30 bab paragraf 04 adalah suatu perjanjian dimana lessor memberi hak kepada lessee untuk menggunakan suatu aset selama periode waktu yang disepakati. Sebagai imbalannya, lessee melakukan pembayaran atau serangkaian pembayaran kepada lessor .

B.        Kriteria Pengelompokan Transaksi Sewa Guna Usaha
Kriteria Pengelompokan Transaksi Sewa Guna Usaha Menurut PSAK No.30 paragraf 08 :
Suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa pembiayaan (capital lease) jika sewa tersebut mengalihkan secara subtansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan aset. Dan suatu sewa diklasifikasikan sebagai sewa operasi (operating lease) jika tidak mengalihkan secara subtansial seluruh risiko dan manfaat yang terkait dengan kepemilikan suatu aset.

Transaksi sewa guna usaha akan dikelompokkan sebagai capital lease bagi perusahaan sewa guna usaha apabila memenuhi semua kriteria berikut ini:
1.      Penyewa guna usaha memiliki hak opsi untuk membeli aktiva yang disewa guna usahakan pada akhir masa sewa guna usaha dengan harga yang telah disetujui bersama pada saat dimulainya perjanjian sewa guna usaha.
2.      Seluruh pembayaran berkala yang dilakukan oleh penyewa guna usaha ditambah dengan nilai sisa mencakup pengembalian harga perolehan barang modal yang disewa guna usahakan serta bunganya sebagai keuntungan perusahaan sewa guna usaha (full payout lease).
3.      Masa sewa guna usaha minimum 2 tahun.

Kalau salah satu kriteria tersebut di atas tidak terpenuhi maka transaksi sewa guna usaha dikelompokkan sebagai transaksi sewa menyewa biasa (operating lease).

C.        Perlakuan Akuntansi Sewa Guna Usaha bagi Perusahaan
Perlakuan Akuntansi Sewa Guna Usaha Finance Lease
Perlakuan akuntansi Finance lease oleh penyewa usaha menurut PSAK No. 30 adalah:
1.       Penanaman neto dalam aktiva yang disewagunausahakan harus diperlakukan dan dicatat sebagai penanaman neto sewa guna usaha. Jumlah penanaman neto tersebut terdiri dari Jumlah piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang akan diterima oleh perusahaan sewa guna usaha pada akhir masa sewa guna usaha dikurangi dengan pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui (unearned lease income), dan simpanan jaminan (security deposit).
2.       Selisih antara piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) dengan harga perolehan aktiva yang disewagunausahakan diperlakukan sebagai pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui (unearned lease income).
3.   Pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui harus dialokasikan secara konsisten sebagai pendapatan tahun berjalan berdasarkan suatu tingkat pengembalian berkala (periodic rate of return) atas penanaman neto perusahaan sewa guna usaha.
4.  Apabila perusahaan sewa guna usaha menjual barang modal kepada penyewa guna usaha sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha, maka perbedaan antara harga jual dengan penanaman neto dalam sewa guna usaha pada saat penjualan dilakukan harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian periode berjalan.
5.       Pendapatan lain yang diterima sehubungan dengan transaksi Sewa Guna Usaha harus diakui dan dicatat sebagai pendapatan periode berjalan.

Perlakuan Akuntansi Sewa Guna Usaha Capital Lease
Perlakuan akuntansi capital lease oleh penyewa usaha menurut PSAK
No. 30 adalah :
a.       Transaksi sewa guna usaha diberlakukan dan dicatat sebagai aktiva tetap dan kewajiban pada awal masa guna sebesar nilai tunai dari seluruh pembayaran sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) yang harus dibayar oleh penyewa guna usaha pada akhir masa sewa guna usaha. Selama masa sewa guna usaha setiap pembayaran sewa guna dialokasikan dan dicatat sebagai angsuran pokok kewajiban sewa guna usaha dan beban bunga berdasarkan tingkat bunga yang diperhitungkan terhadap sisa kewajiban penyewa guna usaha.
b.      Tingkat diskonto yang digunakan untuk menentukan nilai tunai dari pembayaran sewa guna usaha adalah tingkat bunga yang dibebankan oleh
perusahaan sewa guna usaha atau tingkat bunga yang berlaku pada awal masa sewa guna usaha.
c.       Aktiva yang disewa guna usahakan harus diamortisasi dalam jumlah yang
wajar berdasarkan taksiran masa manfaatnya.
d.       Kalau aktiva yang disewa guna usahakan dibeli sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha maka perbedaan antara pembayaran yang dilakukan ataudikreditkan pada tahun berjalan.
e.       Kewajiban sewa guna usaha harus disajikan sebagai kewajiban lancar dan jangka panjang sesuai dengan praktek yang lazim untuk jenis usaha
penyewa guna usaha.
f.        Dalam hal dilakukan penjualan dan penyewaan kembali (sale and leaseback) maka transaksi tersebut harus dilakukan sebagai dua transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa guna usaha. Selisih antara harga jual dan nilai buku aktiva yang dijual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan harus dilakukan secara proporsional dengan biaya amortisasi aktiva yang disewa guna usahakan.

Perlakuan Akuntansi Sewa Guna Usaha Operating Lease
Perlakuan akuntansi operating lease menurut PSAK No.30:
1. Barang modal yang disewagunausahakan harus diperlakukan dan dicatat sebagai aktiva sewa guna usaha berdasarkan harga perolehan.
2. Pembayaran sewa guna usaha (lease payments) selama tahun berjalan yang diperoleh dari penyewa guna usaha diakui dan dicatat sebagai pendapatan sewa. Pendapatan sewa harus diakui dan dicatat berdasarkan metode garis lurus sepanjang masa sewa guna usaha, meskipun pembayaran sewa guna usaha mungkin dilakukan dalam Jumlah yang tidak sama setiap periode.
3.   Penyusutan aktiva yang disewagunausahakan harus dilakukan dalam jumlah yang layak
berdasarkan taksiran masa manfaatnya.
4.   Kalau aktiva yang disewagunausahakan dijual maka perbedaan antara nilai nilai buku dan harga jual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian tahun berjalan.


D. Pelaporan dan Pengungkapan Transaksi Sewa Guna Usaha
Pelaporan dan Pengungkapan Transaksi Finance lease
1.      Aktiva dilaporkan berdasarkan urutan likuiditasnya, kewajiban dilaporkan berdasarkan urutan jatuh temponya tanpa mengelompokkan ke dalam unsur lancar dan tidak lancar (unclassified balance sheet).
2.       Penanaman neto dalam aktiva yang disewagunausahakan harus dilaporkan dalam neraca dengan rincian sebagai berikut:
Piutang Sewa Guna Usaha                          Rp xxxxx
Nilai Sisa Yang Terjamin -                          xxxxx
Pendapatan Sewa Guna Usaha Yang
Belum Diakui-                                      (xxxxx)
Simpanan Jaminan -                                                xxxxx)
--------------
Penanaman Netto Sewa Guna Usaha                     Rp xxxxx
Penyisihan Piutang Sewa Guna Usaha
yang Diragukan                                                       (xxxxx)
        --------------
Jumlah Penanaman Neto                                Rp xxxxx
            =======
3.      Laporan laba rugi disajikan sedemikian rupa sehingga seluruh pendapatan dilaporkan dalam kelompok yang terpisah dari kelompok biaya (single step). Pendapatan sewa guna usaha harus dilaporkan sebagai komponen utama dalam kelompok Pendapatan.
4.   Jumlah penanaman neto dan pendapatan sewa guna usaha dalam sewa guna usaha sindikasi dan leveraged leases harus dilaporkan oleh masing-masing pihak secara proposional sesuai dengan penyertaannya.
5.         Pengungkapan yang layak harus dicantumkan dalam catatan atas laporan keuangan mengenai hal-hal sebagai berikut:
o Kebijakan akuntansi penting yang digunakan sehubungan dengan transaksi sewa guna usaha.
o Jumlah pembayaran sewa guna usaha paling tidak untuk 2 (dua) tahun berikutnya.
o Sifat dari simpanan jaminan yang merupakan kewajiban perusahaan sewa guna usaha kepada penyewa guna usaha.
o Piutang sewa guna usaha yang dijaminkan kepada pihak ketiga.
o Sewa guna usaha sindikasi dan leveraged leases.



Pelaporan dan Pengungkapan Transaksi Capital Lease
Pelaporan akuntansi capital lease oleh penyewa guna usaha menurut PSAK No. 30 adalah :
a.               Aktiva yang disewa guna usahakan dilaporkan sebagai bagian aktiva tetap dalam kelompok tersendiri. Kewajiban sewa guna usaha yang bersangkutan harus disajikan terpisah dari kewajiban lainnya.
b.            Pengungkapan yang layak harus dicantumkan dalam catatan atas laporan keuangan mengenai hal-hal sebagai berikut :
1. Jumlah pembayaran sewa guna usahakan yang paling tidak untuk dua tahun   berikutnya.
2. Penyusutan aktiva yang disewa guna usahakan yang dibebankan dalam tahun berjalan.
3.  Jaminan yang diberikan sehubungan dengan transaksi sewa guna usaha.
4. Keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan beserta amortisasinya  sehubungan dengan transaksi penjualan dan penyewaan kembali (sale and leaseback).
5. Ikatan-ikatan penting yang dipersyaratkan dalam perjanjian sewa guna usaha.

Pelaporan dan Pengungkapan Transaksi Operating Lease
Menurut PSAK No.30 bahwa pengungkapan yang layak harus dicantumkan atas laporan keuangan mengenai :
1.      Jumlah pembayaran sewa guna selama tahun berjalan yang dibebankan sebagai biaya sewa.
2.      Jumlah pembayaran sewa guna usaha yang harus dilakukan paling tidak 2 tahun berikutnya.
3.      Jaminan yang diberikan sehubungan dengan transaksi sewa guna usaha.
4.      Keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan beserta amortisasinya sehubungan dengan transaksi sale and leaseback.
5.      Ikatan-ikatan penting yang dipersyaratkan dalam perjanjian sewa guna usaha (major covenants).

E.    Berikut ini masalah-masalah perpajakan seputar Leasing (SGU):
A. Perbedaan Leasing (SGU) dengan Penjualan Kredit dan Angsuran
Perbedaan Leasing dengan penjualan kredit dan angsuran biasa adalah dalam penjualan kredit dan angsuran hanya terdapat 2 pihak yaitu penjual (supplier) dan pembeli (yang mengangsur/mencicil pembayaran kepada supplier). Maka konsuekensi pajaknya hanyalah antara 2 pihak tersebut. Atas barang modal yang dijual terutang objek PPN, Sedangkan laba penjualan (harga jual – harga pokok pembelian) masuk ke PPh badan supplier.
Sedangkan pada leasing (SGU) terdapat 3 pihak:
  1. lessor (biasanya bank atau lembaga keuangan lain yang memberi dana pada lessee untuk memperoleh aset/barang modal yang  di-leasing-kan)
  2. lessee (yang menggunakan aset/barang modal yang  di-leasing-kan)
  3. supplier (yang menjual/menyediakan aset/barang modal)
Sehingga di sini terdapat 2 objek pajak yaitu:
  1. Jasa pembiayaan, biasanya berupa imbalan bunga, dari lessor ke lessee (objek pajak yang dibebaskan PPN dan PPh 23)
  2. Barang modal yang dijual dari supplier ke lessse (objek pajak PPN sedangkan laba penjualan masuk ke PPh badan supplier)
Terdapat dampak perpajakan yang lain yaitu siapakah yang berhak mendepresiasi aset karena pada umumnya kepemilikan aset (dokumen legalnya) masih dimilki oleh lessor. Karena perbedaan konsuekensi pajak inilah, maka merangsang penyelundupan pajak (tax evasion). Misalnya leasing disamarkan menjadi penjualan kredit agar lessor terhindar dari konsuekensi pemajakan. Atau penjualan kredit agar penjual bisa membukukan pendapatan hanya sebesar imbalan bunga saja.

B.  Perbedaan Pengakuan Pendapatan dan Beban antara Standar Akuntansi dan Peraturan Perpajakan
Secara garis besar, perbedaan tersebut adalah sebagai berikut:

PSAK No. 30 (Revisi 2007) tentang Sewa
KMK No. 1169/KMK.01/1991
Capital Lease (Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi)
Persyaratan
  1. Penyewa guna usaha memiliki hak opsi untuk membeli aktiva yang disewagunausaha pada akhir masa sewa guna usaha dengan harga yang telah disetujui bersama pada saat dimulainya perjanjian sewa guna usaha.
  2. Seluruh pembayaran berkala yang dilakukan oleh penyewa guna usaha ditambah dengan nilai sisa mencakup pengembalian harga perolehan barang modal yang disewa gunausaha serta bunganya, sebagai keuntungan perusahaan sewa guna usaha (full payout lease).
  3. Masa sewa guna usaha minimum 2 (dua) tahun.

  1. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor;
  2. masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan;
  3. perjanjian sewa-guna-usaha memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Pendapatan & Biaya Lessor
a. Selisih antara piutang sewa guna usaha ditambah nilai sisa (harga opsi) dengan harga perolehan aktiva yang disewagunausahakan diperlakukan sebagai pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui (unearned lease income).b. Pendapatan sewa guna usaha yang belum diakui harus dialokasikan secara konsisten sebagai pendapatan tahun berjalan berdasarkan suatu tingkat pengembalian berkala (periodic rate of return) atas penanaman neto perusahaan sewa guna usaha.c. Apabila perusahaan sewa guna usaha menjual barang modal kepada penyewa guna usaha sebelum berakhirnya masa sewa guna usaha, maka perbedaan antara harga jual dengan penanaman neto dalam sewa guna usaha pada saat penjualan dilakukan harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian periode berjalan.d. Pendapatan lain yang diterima sehubungan dengan transaksi Sewa Guna Usaha harus diakui dan dicatat sebagai pendapatan periode berjalan. 
  1. penghasilan lessor yang dikenakan Pajak Penghasilan adalah sebagian dari pembayaran sewa guna usaha dengan hak opsi yang berupa imbalan jasa sewa guna usaha;
  2. lessor tidak boleh menyusutkan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan dengan hak opsi;
  3. lessor dapat membentuk cadangan penghapusan piutang ragu-ragu yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% (dua setengah persen) dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang sewa-guna-usaha dengan hak opsi.
Biaya Lessee
  1. Pembayaran sewa guna usaha (lease payments) selama tahun berjalan yang diperoleh dari penyewa guna usaha diakui dan dicatat sebagai pendapatan sewa. Pendapatan sewa harus diakui dan dicatat berdasarkan metode garis lurus sepanjang masa sewa guna usaha, meskipun pembayaran sewa guna usaha mungkin dilakukan dalam Jumlah yang tidak sama setiap periode.
  2. Penyusutan aktiva yang disewagunausahakan harus dilakukan dalam Jumlah yang layak berdasarkan taksiran masa manfaatnya.

  1. selama masa sewa-guna-usaha, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usaha, sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli;
  2. setelah lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa (residual value) barang modal yang bersangkutan;
  3. pembayaran sewa-guna-usaha yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah, merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi sewa-guna-usaha tersebut memenuhi ketentuan
3. BUKAN OBJEK PPh 23 dan PPN kareana dianggap sebagai JASA PEMBIAYAAN (UU PPN pasal 4A-d)
Operating Lease (Sewa Biasa)
Persyaratan
Kalau salah satu kriteria capital lease tidak terpenuhi maka transaksi sewa guna usaha dikelompokkan sebagai transaksi sewa menyewa biasa (operating lease).
  1. jumlah pembayaran sewa-guna-usaha selama masa sewa-guna-usaha pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang disewa-guna-usahakan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor;
  2. perjanjian sewa-guna-usaha tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Pendapatan & Biaya Lessor
  1. Pembayaran sewa guna usaha (lease payments) selama tahun berjalan yang diperoleh dari penyewa guna usaha diakui dan dicatat sebagai pendapatan sewa. Pendapatan sewa harus diakui dan dicatat berdasarkan metode garis lurus sepanjang masa sewa guna usaha, meskipun pembayaran sewa guna usaha mungkin dilakukan dalam Jumlah yang tidak sama setiap periode.
  2. Penyusutan aktiva yang disewagunausahakan harus dilakukan dalam Jumlah yang layak berdasarkan taksiran masa manfaatnya.

  1. seluruh pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh lessor merupakan obyek Pajak Penghasilan.
  2. lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang disewa-guna-usahakan tanpa hak opsi
Biaya Lessee
Pembayaran sewa guna usaha selama tahun berjalan merupakan biaya sewa yang diakui dan dicatat berdasarkan metode garis lurus selama masa sewa guna usaha, meskipun pembayaran sewa guna usaha dilakukan dalam Jumlah yang tidak sama setiap periode.
pembayaran sewa-guna-usaha tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto. MERUPAKAN OBJEK PPH 23 dan PPN atas SEWA.

Perbedaan paling mendasar adalah tidak diperbolehkannya depresiasi baik bagi lessor dan lessee dalam SGU dengan hak opsi dalam peraturan perpajakn di Indonesia. Namun sebenarnya peraturan pajak memberi pembebanan yang sama bagi lessee seperti pada PSAK dimana lessee diperbolehkan mengurangkan jumlah angsuran pembayaran leasing. Angsuran ini jumlahnya akan sama dengan biaya bunga dan biaya depresiasi karena jumlah utang leasing adalah nilai aktiva ditambah dengan bunga leasing.
PERBEDAAN AKUNTANSI
CAPITAL LEASE
aset diakui sbg aset leesee, PPN Masukan atas aset dapat dikreditkan, tdk ada PPh 23 yang terutang saat pembayaran.
Pada saat pembelian:
aset (debet)
PPN MAsukan(debet)
bunga dibayar dimuka (debet)
utang leasing (credit)
pada saat pembayaran angsuran:
utang leasing (debet)
kas (credit)
jurnal penyesuaian:
beban bunga (debet)
bunga dibayar dimuka (credit)
beban penyusutan aktiva (debet)
akumulasi penyusutan aktiva (credit)
OPERATING LEASE
dianggap sewa biasa, tdk ada pengakuan aset dan beban depresiasi, terutang PPh 23 dan PPN dari pembayaran sewa
Pada saat pembelian:
Tidak ada yang dicatat penyewa, yang menyewakan mencatat sebagai asetnya
pada saat pembayaran angsuran:
beban sewa (debet)
PPN Masukan (debet)
Utang PPh 23 (credit)
Kas (credit)
jurnal penyesuaian:
Tidak ada yang dicatat penyewa, yang menyewakan mendepresiasikan asetnya

C. Potensi Double Taxation atau Double Dipping dalam Perpajakan Internasional
Double Taxation (pemajakan berganda) atas leasing dapat terjadi bila negara lessor dan negara lessee sama-sama tidak boleh mendepresiasi aset leasing sedangkan double Dipping (pembebanan berganda) atas leasing terjadi bila baik lessor dan lessee diperbolehkan untuk mendepresiasi aset leasing. Hal ini dapat dilakukan untuk penghindaran pajak (tax avoidance) berkala internasional untuk leasing antara induk dan anak perusahaan.

D. Peraturan Perpajakan Mengenai Leasing (SGU) yang Saling Bersebrangan
Di Indonesia, perpajakan atas leasing diatur dalam KMK No. 1169/KMK.01/1991 bertentangan dengan UU PPh pasal 11 yang berlaku saat ini (UU PPh No 36 tahun 2008): ”masa sewa-guna-usaha ditetapkan sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun untuk barang modal Golongan I, 3 (tiga) tahun untuk barang modal Golongan II dan III, dan 7 (tujuh) tahun untuk Golongan bangunan; Hal ini melandasi SE-10/PJ.42/1994 membuat pengelompokan harta untuk depresiasi tidak sesaui UU PPh pasal 11 dimana:
  • Golongan I mempunyai manfaat 4 tahun
  • Golongan II mempunyai masa manfaat > 4 sd 8 tahun
  • Golongan III mempunyai manfaat > 8 tahun
Keputusan Menteri Keuangan yang menjadi dasar  dari Surat Edaran tersebut adalah ”Keputusan Menteri Keuangan tahun 1991, jadi dasar hukumnya adalah UU PPh sebelum diubah dengan UU Nomor 10 tahun 1994 dimana pasal 11 menyatkan pengelompokkan aset sebagai berikut:
  • Bukan bangunan
    • Kelompok 1  mempunyai manfaat 4 tahun
    • Kelompok 2  mempunyai manfaat 8 tahun
    • Kelompok 3  mempunyai manfaat 16 tahun
    • Kelompok 4 mempunyai manfaat 20 tahun
  • Bangunan
    • Permanen  mempunyai manfaat 20 tahun
    • Tidak Permanen mempunyai manfaat 10 tahun

E. Sales and lease back
Sepintas tipe leasing ini seperti pegadaian. Pada transaksi ini, lessee menjual aktiva pada lessor lalu menyewanya kembali sampai akhir periode leasing. PSAK No. 30 menyatakan: Dalam hal dilakukan penjualan dan penyewaan kembali (sales and leaseback) maka transaksi tersebut harus diperlakukan sebagai dua transaksi yang terpisah yaitu transaksi penjualan dan transaksi sewa guna usaha. Selisih antara harga jual dan nilai buku aktiva yang dijual harus diakui dan dicatat sebagai keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan. Amortisasi atas keuntungan atau kerugian yang ditangguhkan harus dilakukan secara proporsional dengan biaya amortisasi aktiva yang disewagunausaha apabila leaseback merupakan capital lease atau secara proporsional dengan biaya sewa apabila leaseback merupakan operating lease.
KMK No. 1169/KMK.01/1991 tidak mengatur khusus masalah ini sehingga dalam prakteknya sering terjadi kesalahpahaman. Leasing ini dianggap sama seperti pegadaian sehingga tidak terdapat PPN terutang saat aktiva leasing dijual lessee ke lessor sebelum dileasing kembali. Berdasarkan UU PPN No. 42 tahun 2009 Pasal 1A ayat 2, tidak ada pembebasan PPN atas jenis penyerahan ini. Namun dalam penjelasan UU PPN pasal 1A ayat 1-h, penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) dalam perjanjian leasing, penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak dalam hal ini dari supplier ke lessee. Sehingga penyerahan BKP dari lesee ke lessor dalam sales and leaseback tidak termasuk dalam positive list dan negative list dalam UU PPN.

F. Muharabah vs Capital Lease (SGU dengan hak opsi)
Murahabah (transaksi pembiayaan bank syariah) sepintas mirip leasing karena melibatkan 3 pihak yaitu pembeli, bank dan supplier. Yang membedakan adalah jenis penghasilannya, leasing mengambil laba dari bunga atas uang yang dipinjamkan lessor pada lessee sedangkan muharabah merupakan akad jual beli biasa dengan margin profit dengan cicilan pembayaran. Sehingga seakan-akan bank syariah merupakan agen penjual maka terjadilah pemajakan PPN berganda karena terdapat PPN dari supplier ke pembeli lalu terdapat lagi PPN dari bank ke pembeli. Semestinya yang dipajaki margin profitnya saja karena bank syariah tidak bisa mengkreditkan PPN masukan dari supplier.
Namun untuk memenuhi asas netralitas, agar tidak ada diskriminasi antara bank syariah dan bank komersil, baik bunga leasing maupun margin profit muharabah dibebaskan dari PPN. Pada UU PPN 2009 pasal 1A menyebutkan:
”penyerahan Barang Kena Pajak oleh Pengusaha Kena Pajak dalam rangka perjanjian pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah, yang penyerahannya dianggap langsung dari Pengusaha Kena Pajak kepada pihak yang membutuhkan Barang Kena Pajak”
Dalam Penjelasan pasal tersebut disebutkan bahwa:
”Contoh: Dalam transaksi murabahah, bank syariah bertindak sebagai penyedia dana untuk membeli sebuah kendaraan bermotor dari Pengusaha Kena Pajak A atas pesanan nasabah bank syariah (Tuan B). Meskipun berdasarkan prinsip syariah, bank syariah harus membeli dahulu kendaraan bermotor tersebut dan kemudian menjualnya kepada Tuan B, berdasarkan Undang-Undang ini, penyerahan kendaraan bermotor tersebut dianggap dilakukan langsung oleh Pengusaha Kena Pajak A kepada Tuan B.”
Dari pasal tersebut, dapat dinyatakan, penyerahan yang kena PPN dari supplier ke pembeli, dari bank ke pembeli tidak ada PPN, sama seperti leasing bank biasa. Hal ini dipertegas lagi Penjelasan Pasal 4a ayat 3 tentang jenis jasa yg tidak dikenai PPN  jasa pembiayaan, termasuk pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.